Mata Kuliah : Pembangunan
Masyarakat (Community Development)
TEORI KEMISKINAN
Pada dasarnya, kemiskinan merupakan persoalan klasik yang
telah ada sejak umat manusia ada. Kemiskinan merupakan persoalan kompleks,
berwajah banyak, dan tampaknya akan terus menjadi persoalan aktual dari masa ke
masa. Meskipun sampai saat ini belum ditemukan suatu rumusan ataupun formula
penanganan kemiskinan yang dianggap paling berdayaguna, signifikan, dan
relevan, pengkajian konsep dan strategi penanganan kemiskinan harus terus
menerus diupayakan. Pengupayaan tersebut tentu sangat berarti hingga kemiskinan
tidak lagi menjadi masalah dalam kehidupan manusia.
Seperti diketahui, terdapat banyak teori dan pendekatan
dalam memahami kemiskinan. Namun jika disederhanakan, setidaknya dalam untuk
keperluan penelitian ini, maka terdapat dua paradigma atau teori besar (grand
theory) mengenai kemiskinan: yakni paradigma neo-liberal dan sosial
demokrat. Kedua paradigama tersebut pertama yang memandang kemiskinan dari
kacamata struktural, dan yang kedua secara individual. Pandangan ini kemudian
menjadi basis dalam menganalisis kemiskinan ataupun dalam merumuskan kebijakan
dan program-program yang berusaha mengatasi kemiskinan.
1.
Teori Neo-Liberal;
Shannon, Spicker, Cheyne, O’Brien
dan Belgrave mengatakan bahwa kemiskinan merupakan persoalan individu yang
bersangkutan. Kemiskinan akan hilang jika pertumbuhan ekonomi dipacu
setinggi-tingginya. Ini berarti strategi penanggulangan kemiskinan bersifat
“residual” sementara, yang melibatkan keluarga, kelompok swadaya atau lembaga
keagamaan. Negara akan turut campur ketika lembaga-lembaga di atas tidak lagi
mampu menjalankan tugasnya. Penerapan Jaminan Pengaman Sosial (JPS) di
Indonesia adalah contoh nyata pengaruh teori ini.
Teori
neo-liberal berakar pada karya politik klasik yang ditulis oleh Thomas Hobbes,
John Lock dan John Stuart Mill yang intinya menyerukan bahwa komponen penting
dari sebuah masyarakat adalah kebebasan individu. Dalam bidang ekonomi, karya
monumental Adam Smith, the Wealth of Nation (1776), dan Frederick Hayek, The
Road to Serfdom (1944), dipandang sebagai rujukan kaum neo-liberal
yang mengedepankan azas laissez faire, yang oleh Cheyne, O’Brien
dan Belgrave (1998) disebut sebagai ide yang mengunggulkan “mekanisme pasar
bebas” dan mengusulkan “the almost complete absence of state’s intervention in
the economy.” Secara garis besar, para pendukung neo-liberal berargumen bahwa kemiskinan
merupakan persoalan individual yang disebabkan oleh kelemahan-kelemahan
dan/atau pilihan-pilihan individu yang bersangkutan. Kemiskinan akan hilang
dengan sendirinya jika kekuatan-kekuatan pasar diperluas sebesar-besarnya dan
prtumbuhan ekonomi dipacu setinggi-tingginya. Secara langsung, strategi
penaggulangan kemiskinan harus bersifat “residual”, sementara, dan hanya
melibatkan keluarga, kelompok-kelompok swadaya atau lembaga-lembaga keagamaan.
Peran negara hanyalah sebagai “penjaga malam” yang baru boleh ikut campur
manakala lembaga-lembaga di atas tidak mampu lagi menjalankan tugasnya
(Spicker, 1995; Cheyne, O’Brien dan Belgrave, 1998). Penerapan
program-program structural adjustment, seperti Program Jaringan
Pengaman Sosial atau JPS, di beberapa negara merupakan contoh kongkrit dari
pengaruh neo-liberal dalam bidang penanggulangan kemiskinan ini.
Akan
tetapi, keyakinan yang berlebihan tehadap keunggulan mekanisme pasar dan
pertumbuhan ekonomi yang secara alamiah dianggap akan mampu mengatasi kemiskinan
dan ketidakdilan sosial mendapat kritik dari kaum sosial demokrat. Pendukung
sosial demokrat menyatakan bahwa “a free market did not lead to greater social
wealth, but to greater poverty and exploitation…a society is just when people’s
needs are met, and when inequality and exploitation in economic and social
relations are eliminated” (Cheyne, O’Brien dan Belgrave, 1998).
2.
Teori Demokrasi Sosial;
Teori ini memandang bahwa kemiskinan
bukanlah persoalan individu, melainkan struktural. Kemiskinan disebabkan oleh
adanya ketidakadilan dan ketimpangan dalam masyarakat akibat tersumbatnya akses
kelompok kepada sumber-sumber kemasyarakatan. Teori Demokrasi Sosial menekankan
pentingnya manajemen dan pendanaan negara dalam pemberian pelayanan sosial
dasar (pendidikan, kesehatan, perumahan, dan jaminan sosial) bagi seluruh warga
negara. Karena meskipun teori ini tidak anti sistem ekonomi kapitalis, namun
merasa perlu ada sistem negara yang mengupayakan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Teori
sosial demokrat memandang bahwa kemiskinan bukanlah persoalan individual,
melainkan struktural. Kemiskinan disebabkan oleh adanya ketidakadilan dan
ketimpangan dalam masyarakat akibat tersumbatnya akses-akses kelompok tertentu
terhadap berbagai sumber-sumber kemasyarakatan. Teori yang berporos pada
prinsip-prinsip ekonomi campuran ini muncul sebagai jawaban terhadap depresi
ekonomi yang terjadi pada tahun 1920-an dan awal 1930-an. Sistem negara
kesejahteraan yang menekankan pentingnya manajemen dan pendanaan negara dalam
pemberian pelayanan sosial dasar, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan dan
jaminan sosial, sangat dipengaruhi oleh pendekatan “ekonomi
manajemen-permintaan” (demand-management economics) gaya
Keynesian ini.
Meskipun
tidak setuju sepenuhnya terhadap sistem pasar bebas, kaum sosial demokrat tidak
memandang sistem ekonomi kapitalis sebagai evil. Bahkan kapitalis masih
dipandang sebagai bentuk pengorganisasian ekonomi yang paling efektif. Hanya
saja, kapitalisme perlu dilengkapi dengan sistem negara kesejahteraan agar
lebih berwajah manusiawi. “The welfare state acts as the human face of
capitalism,” demikian menurut Cheyne, O’Brien dan Belgrave, (1998).
Pendukung
sosial demokrat berpendapat bahwa kesetaraan merupakan prasyarat penting dalam
memperoleh kemandirian dan kebebasan. Pencapaian kebebasan hanya dimungkinkan
jika setiap orang memiliki atau mampu menjangkau sumber-sumber, seperti
pendidikian, kesehatan yang baik dan pendapatan yang cukup. Kebebasan lebih
dari sekadar bebas dari pengaruh luar; melainkan pula bebas dalam menentukan
pilihan-pilihan (choices). Dengan kata lain, kebebasan berarti memiliki
kemampuan (capabilities) untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Misalnya, kemampuan memenuhi kebutuhan dasarnya, kemampuan menghindari kematian
dini, kemampuan menghindari kekurangan gizi, kemampuan membaca, menulis dan
berkomunikasi. Negara karenanya memiliki peranan dalam menjamin bahwa setiap
orang dapat berpartisipasi dalam transaksi-transaksi kemasyarakatan yang
memungkinkan mereka menentukan pilihanpilihannya dan memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya.
Menurut
pandangan sosial demokrat, strategi kemiskinan haruslah bersifat institusional
(melembaga). Program-program jaminan sosial dan bantuan sosial yang dianut di
AS, Eropa Barat, dan Jepang, merupakan contoh strategi anti kemiskinan yang
diwarnai oleh teori sosial demokrat. Jaminan sosial yang berbentuk pemberian
tunjangan pendapatan atau dana pensiun, misalnya, dapat meningkatkan kebebasan
karena dapat menyediakan penghasilan dasar dengan mana orang akan memiliki
kemampuan (capabilities) untuk memenuhi kebutuhan dan menentukan
pilihanpilihannya (choices). Sebaliknya, ketiadaan pelayanan dasar tersebut
dapat menyebabkan ketergantungan (dependency) karena dapat membuat orang tidak
memiliki kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dan menentukan pilihan-pilihannya.
Dirumuskan
secara tajam, maka dapat dikatakan bahwa kaum neoliberal memandang bahwa
strategi penanggulangan kemiskinan yang melembaga merupakan tindakan yang tidak
ekonomis dan menyebabkan ketergantungan. Sebaliknya, pendukung sosial demokrat
meyakini bahwa penanggulangan kemiskinan yang bersifat residual, beorientasi
proyek jangka pendek, justru merupakan strategi yang hanya menghabiskan dana
saja karena efeknya juga singkat, terbatas dan tidak berwawasan pemberdayaan
dan keberlanjutan. Apabila kaum neoliberal melihat bahwa jaminan sosial dapat
menghambat “kebebasan”, kaum sosial demokrat justru meyakini bahwa ketiadaan
sumber-sumber finansial yang mapan itulah yang justru dapat menghilangkan
“kebebasan”, karena membatasi dan bahkan menghilangkan kemampuan individu dalam
menentukan pilihan-pilihannya (choices).
3.
Teori Marjinal
Teori
Marjinal berasumsi bahwa kemiskinan di perkotaan terjadi
dikarenakan adanya ‘kebudayaan kemiskinan’ (culture of poverty) yang
tersosialisasi di kalangan masyarakat atau komunitas tertentu.
Oscar
Lewis (1966) adalah tokoh dari aliran teori Marjinal, konsepnya yang terkenal
adalahCulture of Poverty . Menurut Lewis, masyarakat di Dunia
Ketiga menjadi miskin karena adanya Culture of Poverty (Kebudayaan Kemiskinan)
, dengan karakter:
a. Apatis, menyerah pada nasib
b. Sistem-sistem keluarga yang tidak
mantap
c. Kurang pendidikan
d. Kurang ambisi untuk membangun masa
depan
e. Kejahatan dan kekerasan merupakan
hal yang lumrah
Ada
2 (dua) pendekatan pererencanaan yang bersumber dari pandangan Teori Marjinal:
a. Prakarsa harus datang dari luar
komunitas.
b. Perencanaan harus berfokus pada
perubahan nilai, karena akar masalah ada pada nilai.
4.
Teori Development
Teori
Developmental (bercorak pembangunan) muncul dari teori-teori pembangunan
terutama neo liberal. Teori ini mencari akar masalah kemiskinan pada
persoalan ekonomi dan masyarakat sebagai satu kesatuan
Ada
3 (tiga asumsi dasar dari teoeri ini:
a. Negara menjadi miskin karena
ketiadaan atribut industrialisasi, modal, kemampuan menajerial, dan prasarana
yg di perlukan untuk peningkatan ekonomi
b. Pertumbuhan ekonomi adalah kriteria
utama pembangunan yang dianggap dapat mengatasi masalah-masalah ketimpangan
c. Kemiskinan akan hilang dengan
sendiri bila pasar diperluas sebesar-besaranya dan pertumbuhan ekonomi dipacu
setinggi-tingginya.
Ketiga
asumsi tersebut, terlihat bahwa kemiskinan yang terjadi di kota-kota
bukan persoalan budaya, sebagaimana anggapan penganut Teori Marjinal
(Cultur of Poverty) melainkan persolana ekonomi dan pembangunan.
Implikasi
Teori Developmental pada Perencanaan dan kebijakan:
a. Bahwa rencana-rencana pembangunan
harus diarahkan pada kekuatan-kekuatan produksi, efisiensi perkotaan,
penghematan skala (economic of scale) dan perolehan modal investasi.
b. Perencanaan pembangunan harus
diarahkan pada peningkatan prasarana yang dapat mengatasi masalah ketimpangan.
c. Perencanaan untuk meningkatkan
penyediaan sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan.
d. Perencanaan-proyek-proyek
pemberdayaan masyarakat (community empowerment)
5.
Teori Struktural
Tepri
ini didasari oleh pemikiran yang berasal dari Teori Dependency (Teori
Ketergantungan) yang diperkenalkan oleh Andre Gunder Frank (1967) “Capitalism
and the Underdevelopment in Latin America”, dan juga oleh Teothonio Dos Santos,
dan Samir.
Teori
Struktural berasumsi bahwa kemiskinan dikota-kota Dunia Ketiga terjadi bukan
karena persoalan budaya, dan juga bukan bukan persoalan pembangunan ekonomi,
melainkan persoalan struktural, yang hanya dapat dijelaskan dalam konstelasi
politik-ekonomi Dunia.
Teori
Dependensi mengajukan 3 asumsi utama:
a. Dunia didominasi oleh suatu
perekonomian tunggal sedemikian rupa sehingga semua negara di Dunia
diintegrasikan ke dalam lingkungan produksi kapitalisme yg menyebabkan
keterbelakangan di negara Periphery.
b. Negara-negara Core (Inti) menarik
surplus dari negara-negara periphery melalui suatu
matarantai metropolis-satelit.
c. Sebagai akibatnya negara-negara
Periphery menjadi semakin miskin, dan negara-negara Core menjadi semakin kaya.
Dengan
berdasar pd pemikiran Dependency tsb, Teori Struktural mengajukan asumsi bahwa
kemiskinan di Dunia Ketiga harus dilihat pada suatu konstelasi ekonomi
internasional dan struktur politik global yg menerangkan bhw ketergantunganlah
itulah yg menjadi penyebab negara-negara terkebelakang & masyarakatnya
menjadi makin miskin.
Ada
4 (empat) pendekatan Perencanaan yang bersumber dari asumsi-asumsi Teori
Struktural dan Dependency:
a. Kemiskinan harus dilihat secara
dinamis dari bagaimana usaha dan kemampuan kaum miskin itu sendiri dalam
merespon kemiskinan mereka
b. Indikator kemikinan
semestinya merupakan indikator yg komposit dengan unit analisis keluarga (rumah
tangga) dan jaringan sosial (social work) yang ada disekitarnya.
c. Konsep kemampuan sosial (social
capability) dipandang lebih lengkap dari pada konsep pendapatan.
6.
Teori Artikulasi Moda Produksi
Teori
Artikulasi Moda Produksi adalah salah satu teoeri dalam jajaran studi-studi
pembangunan yang dikembangkan oleh Pierre-Phillipe Rey, Meillassoux, Terry, dan
Taylor, dari pemikiran Karya Karl Marx dan Frederic Engels mengenai Moda
Produksi (Mode of Poduction)
Teori
ini berasumsi bahwa reproduksi kapitalisme di negara-negara periphery terjadi
dalam suatu simultanitas tunggal di mana pada sisi periphery, terjadi artikulasi
dari sedikitnya dua moda produksi (moda produksi kapitalis dan moda produksi
pra-kapitalis
Koeksistensi
dari kedua moda produksi tersebut menghasilkan eksploitasi tenaga
kerja murah dan problem akses bagi kelompok masyarakat miskin yg masih tetap
berada dalam ranah moda produksi pra-kapitalisme atau pra-kapitalis atau
non-kapitalis
Strategi
penanganan kemiskinana ditawarkan oleh Teori Artikulasi Moda
Produksi dikenal dengan “person-in-environment”, dan
“person-in-situation” yang dianalogikan sebagai strategi “ikan-kail”
a. Memberikan keterampilan memancing
b. Menghilangkan dominasi kepemilikan
kolam ikan oleh keleompok elit dalam masyarakat.
c. Mengupayakan perluasan akses
pemasaran bagi penjualan ikan.
Teori
Artikulasi Moda Produksi melandasai 2 (dua) macam pendekatan: Moderat dan
Radikal
Pendekatan
Moderat, meliputi:
a. Pemberian bantuan sosial dan
rehabilitasi sosial yang diselenggarakan oleh panti-panti social
b. Program jaminan perlindungan dan
asuransi kesejahteraan sosial.
c. Program-program pemberdayaan
masyarakat (Country/ society empowerment).
Pendekatan
Radikal meliputi:
a. Bahwa justeru di dalam masyarakat
itu sendiri terjadi ketidak-adilan dan ketimpangan, yang menyebabkan taraf
hidup sebagain warna masyarakatnya tetap saja rendeh
b. Karenanya kebijakan yang paling
tepat adalah gerakan untuk mengadakan reformasi dan tranformasi terhadap
berbagai intitusi yang dianggap kurang menguntungkan kaum miskin
KEBIJAKAN YANG DI AMBIL PEMERINTAH
·
Mengadakan reformasi dan tranformasi terhadap berbagai
intitusi yang dianggap kurang menguntungkan kaum miskin
·
Bahwa rencana-rencana pembangunan harus diarahkan pada
kekuatan-kekuatan produksi, efisiensi perkotaan, penghematan skala (economic
of scale) dan perolehan modal investasi.
·
Perencanaan pembangunan harus diarahkan pada peningkatan
prasarana yang dapat mengatasi masalah ketimpangan.
·
Perencanaan untuk meningkatkan penyediaan sarana dan
prasarana pendidikan dan kesehatan.
·
Perencanaan-proyek-proyek pemberdayaan masyarakat (community
empowerment)
KEMISKINAN DI KOTA SEMARANG
Daerah padat penduduk seperti di Jawa Tengah, Daerah
Istemewa Yogyakarta, Jawa Timur, dan Jawa Barat termasuk yang angka
kemiskinannya tinggi. Karena jumlah penduduknya padat maka secara absolut
jumlah penduduk miskinnya juga tinggi. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada
tahun 2005 ini, 62 juta jiwa dan di Jawa Tengah, 3,17 Juta keluarga dinyatakan
miskin. Jumlah penduduk miskin yang ada di Kota Semarang pada tahun 2004
berjumlah 79 ribu jiwa.
Komentar