Langsung ke konten utama

TENTANG KOTA METROPOLITAN



Metropolitan adalah : 
istilah untuk menggambarkan suatu kawasan perkotaan yang relatif besar, baik dari ukuran luas wilayah, jumlah penduduk, maupun skala aktivitas ekonomi dan sosial. Secara etimogi (asal kata) kata metropolitan (kata benda) atau metropolis (kata sifat) berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu kata meter yang berarti ibu dan kata polis yang berari kota. (Wackerman, 2000). Pada masa itu, metropolitan memiliki makna sebagai “kota ibu” yang memiliki kota-kota satelit sebagai anak, namun dapat juga berarti pusat dari sebuah kota, sebuah kota negara (city-state), atau sebuah propinsi di kawasan Mediterania (Winarso, 2006).
Definisi kawasan metorpolitan yang relevan dalam konteks negara Indonesia, yaitu berdasarkan Undang-Undang Tahun 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Undang-Undang tersebut mendefinisikan kawasan metropolitan sebagai kawasan perkotaan yang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya 1.000.000 (satu juta) jiwa. 


Secara umum, metropolitan dapat juga didefinisikan sebagai suatu pusat permukiman besar yang terdiri dari satu kota besar dan beberapa kawasan yang berada di sekitarnya dengan satu atau lebih kota besar melayani sebagai titik hubung (hub) dengan kota-kota di sekitarnya tersebut. Suatu kawasan metropolitan merupakan aglomerasi dari beberapa kawasan permukiman, tidak harus kawasan permukiman yang bersifat kota, namun secara keseluruhan membentuk suatu kesatuan dalam aktivitas bersifat kota dan bermuara pada pusat (kota besar yang merupakan inti) yang dapat dilihat dari aliran tenaga kerja dan aktivitas komersial. Menurut Goheen (dalam Bourne, ed. 1971), Kota/ Distrik Metropolitan adalah kawasan perkotaan dengan karakteristik penduduk yang menonjol dibandingkan dengan penduduk pedesaan di sekitarnya. Istilah ini digunakan untuk memberikan gambaran yang lebih tepat mengenai besaran dan konsentrasi penduduk dalam wilayah yang luas, yang selanjutnya dapat menunjukkan besaran pusat-pusat permukiman yang utama di satu negara. Secara umum, kawasan metropolitan dapat didefinisikan sebagai satu kawasan dengan konsentrasi penduduk yang besar, dengan kesatuan ekonomi dan sosial yang terpadu dan mencirikan aktivitas kota.


Sedangkan definisi Metropolis menurut Jean Bastie dan Bernard Dezert (1991) adalah sebagai berikut :
1.    Tidak selalu ditentukan oleh ukuran demografik (faktor kependudukan), tetapi juga oleh faktor yang lebih penting dari ukuran kuantitatif populasinya
2.    Dicirikan oleh sistem infrastruktur komunikasi dan transportasi yang melayani pergerakan commuting, aliran informasi, dan pengambilan keputusan
3.    Sebagai pusat aktivitas keuangan di tingkat atas
4.    Sebagai pusat berkumpulnya perusahaan-perusahaan internasional
5.    Sebagai pusat kekuatan politik dan administrasi dari sebuah negara
6.    Sebagai tempat pengembangan dan penggunaan teknologi tinggi dan telekomunikasi canggih
7.    Sebagai tempat penting aktivitas-aktivitas budaya dan ilmiah
8.    Sebagai tempat tujuan wisata internasional
9.    Sebagai pusat fungsional tenaga kerja dan perumahan


Menurut Wackerman (2000), kota metropolitan dapat dibedakan antara kota metropolitan internasional, nasional dan regional, dengan definisi sebagai berikut :


Kota Metropolitan Internasional :
1.    Memiliki populasi yang secara kualitataif aktivitasnya berada di tingkat internasional dan berada di jaringan perdagangan raksasa
2.    Memiliki pelayanan tingkat internasional di bidang teknologi, konsultasi dan riset
3.    Memiliki infrastruktur untuk penyelenggaraan aktivitas internasional seperti : kongres, festival, dll
4.    Memiliki komunitas tenaga kerja asing yang merepresentasikan perusahaan dan institusi multinasional yang jumlahnya cukup untuk mempengaruhi kehidupan lokal
5.    Memiliki citra internasional terutama dalam bidang pariwisata dan budaya


Kota Metropolitan Nasional :
1.    Dalam hal ini hampir seluruh kota metropolitan nasional memiliki kriteria seperti kota metropolitan internasional
2.    Di negara-negara berkembang, kota-kota metropolitan secara umum adalah kota-kota yang sangat besar dari segi demografik (hingga mencapai jutaan jiwa)
3.    Kota-kota tersebut tidak selalu memiliki karakter kota metropolitan, namun sebagian telah masuk ke dalam proses internasionalisasi dan globalisasi


Kota Metropolitan Regional
1.    Kota yang memilki peran besar dalam perekonomian negara
2.    Ibukota regional
3.    Pusat pertumbuhan wilayah dan tempat berpusatnya sebagian besar pelayanan perkotaan
4.    Menjadi gerbang wilayah untuk berhubungan dengan wilayah lain di tingkat nasional dan internasional


Sekarang ini kita mengenal ada delapan kawasan metropolitan di Indonesia (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2006) yaitu:
§  Metropolitan Jabodetabekjur, yang meliputi Jakarta – Bogor – Depok – Tangerang - Bekasi – Cianjur
§  Metropolitan Bandung, yang meliputi Kota Bandung - Kabupaten Bandung - Kota Cimahi - Kabupaten Sumedang
§  Metropolitan Semarang, yang meliputi Kabupaten Kendal – Kabupaten Semarang (Ungaran) – Kota Semarang – Kabupaten Purwodadi (atau disebut juga dengan metropolitan “Kedungsepur”)
§  Metropolitan Surabaya, yang meliputi Kabupaten Gresik – Bangkalan – Kabupaten Mojokerto – Kota Surabaya – Kabupaten Sidoarjo – Kota Lamongan (atau disebut juga dengan metropolitan “Gerbangkertosusila”)
§  Metropolitan Medan, yang meliputi Kota Medan – Kabupaten Binjai – Kabupaten Deliserdang (atau disebut juga dengan metropolitan “Mebidang”)
§  Metropolitan Denpasar, yang meliputi Denpasar – Badung - Gianyar – Tabanan (atau disebut juga dengan metropolitan “Sarbagita”)
§  Metropolitan Makassar, yang meliputi Kota Makassar – Kabupaten Maros – Kabupaten Gowa – Kabupaten Takalar (atau disebut juga dengan metropolitan “Mamminasata”)
§  Metropolitan Palembang
§  Metropolitan BBM, yang meliputi Kota Banjarmasin – Kota Banjar Baru – Kota Martapura

Selain kedelapan kawasan metropolitan tersebut di atas, Kota Yogyakarta dan daerah sekitarnya yang meliputi Kabupaten Bantul dan Sleman (walaupun jumlah penduduk kota intinya belum mencapai satu juta jiwa) secara struktur juga telah membentuk kawasan metropolitan, karena memiliki kota satelit dan kota inti.



Kota adalah :
1.    Tempat dimana konsentrasi penduduk lebih padat dari wilayah sekitarnya karena terjadinya pemusatan kegiatan fungsional yang berkaitan dengan kegiatan atau aktivitas penduduknya
2.    Permukiman yang mempunyai berpenduduk relatif besar, luas areal terbatas, pada umumnya bersifat non-agraris, kepadatan penduduk relatif tinggi (Kamus Tata Ruang)
3.    Tempat sekelompok orang-orang dalam jumlah tertentu dan bertempat tinggal dalam suatu wilayah geografis tertentu, cenderung berpola hubungan rasional, ekonomis dan individualistis
4.    Pusat permukiman dan kegiatan penduduk yang mempunyai batasan wilayah administrasi yang diatur dalam peraturan perundangan, serta permukiman yang telah memperlihatkan watak dan ciri kehidupan perkotaan (Pemendagri No. 2/1987)
5.    Kota sebagai Daerah Otonom 

Perkotaan adalah : 
1.    Daerah permukiman yang meliputi kota induk dan daerah pengaruh di luar batas administratif nya yang berupa daerah pinggiran sekitarnya atau daerah suburban.
2.    Kawasan Perkotaan (>< Kawasan Perdesaan) Kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi (UUPR 92).
3.    Kawasan Perkotaan adalah aglomerasi kota-kota dengan daerah sekitarnya yang memiliki sifat kekotaan; dapat melebihi batas politik/administrasi dari kota yang bersangkutan
Sistem Perkotaan adalah :
1.    Merupakan aglomerasi kota dengan wilayah sekitarnya yang masih memiliki sifat kekotaan.
2.    Sekumpulan kota-kota yang secara bersamaan membentuk pemukiman pada suatu wilayah, baik secara regional, nasional atau seluruh benua.
3.    Sistem perkotaan tidak hanya terdiri dari himpunan objek secara fisik – dalam hal ini pemukiman perkotaan – melainkan juga aliran dan keterhubungan yang bertujuan untuk saling mengikat.
4.    Aliran dapat berupa pergerakan orang, barang, faktor produksi, ide, informasi dan inovasi.
Issue Metropolitan menjadi mengemuka karena tren perkembangan kota. Diperoleh fakta bahwa mayoritas penduduk dunia tinggal di kota-kota, maka kesuksesan menata sistem perkotaan merupakan kunci kesuksesan menata ruang dunia.
Urbanisasi diperkirakan akan terus terjadi, sehingga jumlah penduduk kota akan semakin bertambah. Disini perlu dikaji, sebenarnya berapa maksimal luas geografis sebuah kota dan berapa maksimal jumlah penduduknya sedemikian hingga pengelola kota masih mampu memberikan pelayanan yang baik dan nyaman. Permasalahan yang dihadapi kota besar (metropolitan) adalah sebagai berikut :
1.    Jumlah penduduk yang terus bertambah tidak diimbangi dengan bertambahnya luas kota yang bisa dilayani
2.    Munculnya daerah-daerah kumuh
3.    Kesenjangan antara penduduk kaya dan miskin seringkali menjadi sumber konflik perkotaan
4.    Penyediaan lapangan kerja
5.    Kualitas Lingkungan
Daripada memperbesar kota, mungkin lebih baik membangun sebuah sistem yang terdiri dari kota-kota yang disebut dengan sistem perkotaan.
Berdasarkan definisi, Ciri-ciri Metropolitan ditunjukkan oleh beberapa aspek, antara lain besaran penduduk, kegiatan ekonomi, mobilitas aktivitas penduduk, dan struktur kawasan.
Besaran jumlah penduduk menjadi aspek pertimbangan utama dalam menentukan definisi suatu metropolitan. Namun, sejumlah pakar perkotaan menetapkan batas yang berbeda-beda untuk penetapan jumlah minimal penduduk kawasan metropolitan.
Pada kawasan metropolitan terjadi aglomerasi kawasan permukiman dan lapangan pekerjaan. Dengan kata lain, kawasan metropolitan merupakan kawasan perkotaan dengan spesialisasi fungi aktivitas sosial ekonomi. Spesialisasi ekonomi tersebut merupakan sektor industri dan jasa. Proses spesialisasi di kawasan metropolitan terjadi karena selalu berkembangmya teknologi produksi, distribusi, dan komunikasi (Angotti, 1993 dalam Winarso et al, 2006). Kegiatan industri dan jasa merupakan sektor yang dominan berkembang di kawasan metropolitan. Kegiatan ekonomi yang berlangsung di kawasan metropolitan bersifat heterogen dan memiliki peran sebagai sentral/pusat kegiatan-kegiatan ekonomi dalam skala regional, baik dalam lingkup propinsi atau negara bagian maupun lingkup nasional.


Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi perkotaan merupakan faktor pendorong terjadinya metropolitan dan akan terus berpengaruh terhadap prospek metropolitan di masa depan. Kenyataannya, metropolitan dimana saja mengemban fungsi ekonomi nasional yang sangat berarti sumbangannya bagi seluruh negara. Metropolitan dituntut mampu berperan dan berfungsi sesuai dengan bagiannya dalam pembangunan ekonomi nasional. Di sisi lain, peran ekonomi nasional metropolitan harus diimbangi dengan tingkat ekonomi yang sebanding dan mampu menberikan kehidupan yang layak bagi warga masayrakat metropolitan itu sendiri. Metropolitan harus mampu menciptakan lapangan kerja dan tingkat pendapatan yang memadai bagi masyarakatnya untuk dapat bertahan dan bahkan menikmati kehidupan di dalam lingkungan metropolitan. Tingkatan pendapatan di metropolitan umumnya jauh melebihi kota dan daerah lain seta pedesaan, dan menjadi daya tarik metropolitan bagi arus penduduk yang mencari kerja dan kehidupan yang layak. Tentunya harus diperhitungkan bahwa tingkat pengeluaran masyarakat metropolitan pada umumnya juga jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kota dan daerah lainnya.
Salah satu ciri kawasan metropolitan ditunjukkan dalam bentuk kemudahan mobilitas yang menurut Angotti (1993) terlihat dalam 3 bentuk (Winarso et al, 2006), yaitu:
1.     Mobilitas pekerjaan (Employment mobility), dicirikan dengan mudahnya orang berpindah tempat kerja tanpa harus berpindah tempat tinggal karena banyaknya jenis dan variasi pekerjaan yang tersedia.
2.     Mobilitas Perumahan (Resdential Mobility), terjadi sejalan dengan mobilitas tempat kerja.
3.     Mobilitas Perjalanan (Trip Mobility), terjadi karena mobilitas tempat kerja dan tempat tinggal.
Struktur kawasan metropolitan dapat terdiri dari dua jenis, yaitu kawasan metropolitan yang hanya memiliki satu pusat (monocentric) dan kawasan metropolitan dengan lebih dari satu pusat (polycentric) (Winarso, 2006). Kota-kota yang saling berhubungan dalam satu kawasan metropolitan terutama memiliki ikatan secara fungsi kegiatan ekonomi dan sosial dan tidak harus selalu berhubungan dalam segi fisik melalui perwujudan kawasan terbangun (built-up area). Selain itu, struktur kawasan metropolitan juga ditunjukkan oleh adanya sistem infrastruktur yang saling menghubungkan antar area-area di dalam kawasannya sehingga secara keseluruhan menjadi suatu kawasan permukiman dengan segala aktivitas pendukungnya dalam skala yang besar dan luas.
Seperti halnya negara maju dan negara-negara yang kemudian berkembang, gejala penumpukan modal, penduduk, fungsi, pelayanan, kemudahan, dan lainnya, demikian pula persoalan dan tantangan di kota-kota metropolitan terjadi juga di Indonesia (Djamal,1993). Kota-kota metropolitan tumbuh dengan pesatnya melebihi antisipasi para perencana, pengambil keputusan kebijakan, manajer, politisi, dan ahli-ahli perkotaan. Seakan-akan tidak ada kekuatan dan kemampuan yang dapat menghentikan tumbuh dan berkembangnya kota-kota metropolitan sampai suatu saat membangkitkan tuntutan kebutuhan (Lo dan Yueng 1998) untuk membahas persoalan dan tantangan metropolitan di Indonesia. Yang jelas, hadirnya persoalan dan tantangan di iNdonesia adalah suatu fakta yang harus diterima. Tidak banyak menfaatnya untuk mempersoalkan lagi apakah misalnya terdapat kelalaian atau kecerobohan dalam kebijakan publik sehingga terjadi kota-kota metropolitan dengan persoalan dan tantangan yang dihadapi sekarang dan yang masih harus dihadapi terus untuk waktu yang cukup panjang.


Kota sebagai wujud ruang dimana manusia beraktivitas di dalamnya merupakan cerminan dari perkembangan manusia yang bermukim, yaitu penduduknya. Isu utama dalam hal penduduk di suatu kawasan metropolitan terkait dengan tiga isu utama, yaitu kependudukan (demografi), ekonomi, dan sosial.
Isu kependudukan (demografi) merupakan isu yang fokus terhadap komposisi dan pertumbuhan penduduk. Berdasarkan definisi Donald J. Bogue (dalam Yasin, 1981) demografi adalah ilmu yang mempelajari secara statistik dan matematik tentang besar, komposisi, dan distribusi penduduk dan perubahan-perubahannya sepanjang masa melalui bekerjanya lima komponen demografi, yaitu
1.     kelahiran (fertilitas),
2.     kematian (mortalitas),
3.     perkawinan,
4.     migrasi,
5.     mobilitas sosial.
Dengan demikian, isu tentang kependudukan di suatu wilayah, merupakan isu yang fokus pada perkembangan penduduk secara kuantitas yang tidak terlepas dari fitrah utamanya, yaitu lahir, mati, dan melakukan perpindahan. Isu kependudukan ini merupakan dasar perhitungan kuantitas penduduk pada suatu wilayah yang pada akhirnya akan melakukan aktivitas ekonomi dan sosial. 

Isu-isu kependudukan pada konteks kawasan metropolitan antara lain besarnya jumlah penduduk sehingga berimplikasi pada dinamika kependudukan yang relatif kompleks. Isu ini ditunjukkan dengan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi dan pertumbuhan penduduk ini banyak dipengaruhi
 oleh aktivitas migrasi. Rata-rata tingkat pertumbuhan 15 megalopolis di Asia adalah 3,3% per tahun dan tumbuh sekitar 2,5% per tahunnya (Chen dan Heligman, 1994 dalam Mega-City Growth and The Future: 27). Kawasan Metropolitan Jabodetabek untuk contoh kasus di Indonesia memiliki laju pertumbuhan penduduk 3,35% pada tahun 1990-1995 dan mengalami penurunan menjadi 1% pada tahun 1995-2000. Penurunan pertumbuhan penduduk terjadi meskipun pertumbuhan alami meningkat secara positif (selisih antara kelahiran dan kematian) ketika tingkat migrasi masuk menurun secara signifikan pada kurun waktu tersebut (Mamas dan Komalasari dalam Winarso el al, 2006). Selain laju pertumbuhan penduduk, isu khusus terkait kependudukan di kawasan metropolitan adalah tingkat kepadatan penduduknya yang tinggi. Pada tahun 2000, Kawasan Metropolitan Jabodetabek dengan luas hanya 6.174 km2 memiliki penduduk 21,19 juta jiwa sehingga memiliki kepadatan bruto 3.432 jiwa/km2 (Mamas dan Komalasari dalam Winarso el al, 2006).


Kesulitan yang umumnya dihadapi dalam mengukur pertumbuhan penduduk metropolitan di Indonesia adalah adanya kerancuan antara penduduk metropolitan yang wilayahnya dibatasi secara fungsional perkotaan dengan wilayah yang dibatasi
 oleh wilayah administrasi. Wilayah administratif perkotaan biasanya sudah jenuh dan tidak lagi memiliki lahan dan sumberdaya untuk mendukung pertambahan penduduk, sehingga pertambahan penduduknya cenderung nol bahkan berkurang. Pertambahan penduduk secara cepat lebih banyak terjadi di daerah sekitar metropolitan sehingga pertumbuhan penduduk yang terjadi adalah di dalam metropolitan yang mencakup daerah administratif di sekitarnya.
Pembangunan ekonomi metropolitan memiliki dua dimensi, yaitu nasional dan lokal. Dalam dimensi nasionalnya, sumbangan dan peran ekonomi metropolitan harus diperhitungkan dalam pembangunan ekonomi perkotaan secara keseluruhan dan pembangunan ekonomi nasional. Para pemegang otoritas ekonomi dan keuangan seringkali terpaku pada indikator-indikator makro ekonomi, seperti pendapatan domestik bruto, laju inflasi, tingkat investasi, cadangan devisa dan nilai tukar rupiah, dan ukuran-ukuran makro lainnya, dan masih kurang memperhitungkan peran ekonomi lokal seperti pembangunan perkotaan dan metropolitan. Dimensi spasial dan lokal dari pembangunan ekonomiakan lebih mendekatkan lagi makna dari kemajuan pertumbuhan ekonomi dari segi wujudnya dalam menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan pendapatan keluarga, meningkatkan kemampuan konsumsi, meningkatkan daya beli terhadap pelayanan umum, dan akhirnya menciptakan mutu kehidupan perkotaan dan metropolitan yang ingin dicapai. Dalam era desentralisasi, pembangunan ekonomi lokal di perkotaan dan metropolitan akan memberikan arti pula dalam wujud peran pemerintah daerah yang melampaui dari sekedar membelanjakan anggaran publik untuk membangun berbagai prasarana dan sarana pelayanan umum. Dalam konteks pembangunan ekonomi perkotaan, pemerintah daerah akan berparan sebagai manajer yang harus mampu mengelola dan memberdayakan semua sumber daya yang dimiliki suatu daerah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara adil melalui pemberdayaan ekonomi dan keuangannya. Diperlukan suatu visi pemimpin daerah yang berwawasan terpadu dalam menggerakkan kemampuan sumber daya (alam, tenaga manusia, dan modal), sektor kegiatan ekonomi (pertanian, industri, jasa dan ekonomi tersier), di semua aspek kegiatan ekonomi (produksi, distribusi, konsumsi), dan dalam semua kebutuhan hidup masyarakat (lapangan kerja, pendapatan, konsumsi rumah tangga, dan mutu kehidupan.

Isu ekonomi pada kawasan metropolitan pada pemaparan ini merujuk pada konteks pembangunan berkelanjutan pada kawasan metropolitan. Keberlanjutan ekonomi tersebut memandang pada sumber daya alam, perlindungan sumber modal, upaya pertumbuhan yang merata dengan upaya pengentasan kemiskinan, dan internalisasi aktivitas ekonomi yang kerap menimbulkan eksternalitas (Serageldin, 1995 dalam Laquian, 2005). Komponen keberlanjutan ekonomi tersebut dirujuk berdasarkan
 konsep suatu kawasan metropolitan yang merupakan aglomerasi aktivitas ekonomi serta pusat dari investasi skala besar. Aktvitas ekonomi tersebut tidak dapat terlepas dari pemanfaatan sumber daya untuk aktivitas produksi, diantaranya sumber daya manusia. Penduduk merupakan salah satu dari sumber produksi pada kegiatan ekonomi, yaitu sumber daya manusia yang memiliki modal tenaga dan intelektualitas yang menentukan kesejahteraan dari suatu kota. 

Isu penting yang merupakan irisan dari isu kependudukan dan isu ekonomi adalah isu ketenagakerjaan.
Isu ketenagakerjaan pada konteks kawasan metropolitan terdiri dari beberapa komponen, antara lain besaran penduduk yang memiliki minat untuk melakukan aktivitas ekonomi serta sektor-sektor ekonomi utama yang menyerap tenaga kerja di kawasan metropolitan. Perkembangan ekonomi yang pesat di kawasan metropolitan Asia merupakan dampak dari aktivitas industri, manufaktur, pasar saham, dan investasi infrastruktur (Laquian, 2005). Ketersediaan tenaga kerja, dalam hal kemampuan ketrampilan atau keahlian (skill) dan kuantitas merupakan hal penting untuk industri yang sangat mengandalkan kondisi tenaga kerjanya (Christian dan Harper, 1982).

Isu lain yang terjadi di metropolitan adalah adanya kesenjangan antara kelompok berdasarkan tingkatan ekonomi dan pendapatan merupakan persoaalan tetapi sistem dualisme ekonomi yang terjadi juga memungkinkan kehidupan metropolitan terus berjalan dalam suasana saling menguntungkan antara berbagai lapisan masyarakat. Meskipun pada dasarnya saling menguntungkan, dalam kenyataannya sistem dualisme ekonomi yang ada dalam metropolitan tidak selalu berjalan mulus, dan tidak jarang terjadi konflik dan tindakan yang tidak selalu adil bagi yang tergolong lemah. Golongan yang lebih kuat ekonominya memiliki ruang gerak yang lebih leluasa dan dalan suatu tatanan ekonomi pasar yang memungkinkan terjadinya akumulasi sumber daya yang luar biasa besarnya tanpa tersentuh kebijakan yang dapat mendistribusikannya secara lebih detail dan merata di antara semua lapisan masyarakat (Cahyono tt, Dahuri tt, Wibowo tt). Golongan ekonomi yang lemah lebih sering menjadi korbanpenggusuran secara paksa atas nama ketertiban dan disiplin dalam perkotaan tanpa adanya kkebijakan yang efektif untuk memberikan ruang usaha yang lebih memadai bagi mereka. Kekuatan ekonomi pasar menempatkan kelompok ekonomi kuat dan teristimewa sebagai pemodal besar yang selalu berasosiasi dengan pemilik kekuasaan, berpean menentukan dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan publik yang memihak pada kepentingan mereka. Jelas bahwa potensi dunia usaha dan sektor usaha hadir secara meyakinkan dalam suatu metropolitan. Sayangnya tidak selalu diimbangi dengan otoritas publik dengan keterampilan, kebijakan dan kemampuan efektif untuk mengerahkan potensinya secara menguntungkan bagi masyarakat banyak.
Persoalan dan tantangan sosial budaya dalam konteks metropolitan menyangkut dimensi manusia, mulai dari yang bersifat individu dalam berbagai bentuk kelompok (etnis, agama, ras, dan sebagainya) sampai pada konteks masyarakat secara keseluruhan. Persoalan yang sering dihadapi adalah terjadinya konflik, kesenjangan, dan ketimpangan sosial yang bersifat antar kelompok, antar kawasan, dan antar lapisan dalam masyarakat yang jika tidak dikelola dengan baik dapat menjurus ke arah degradasi sosial, yang pada akhirnya dapat berujung pada disintegrasi sosial.

Isu sosial pada kawasan metropolitan juga dapat dipandang dari sudut pembangunan berkelanjutan. Keberlanjutan sosial meliputi komponen kemampuan penduduk yang terdiri dari pendidikan, kesehatan, dan pelatihan ketrampilan. Dinamika pada kehidupan penduduk juga mempengaruhi mobilitas sosial, kesenjangan kelompok yang kuat dan kelompok yang lemah, kemiskinan, dan kelompok sosial yang tidak terintegrasi (Serageldin, 1995 dalam Laquian, 2005). Isu-isu sosial utama pada kawasan metropolitan Indonesia adalah terkait kualitas penduduk yang dapat diukur melalui Indeks Pembangunan Manusia yang ada. Selain itu, kemiskinan perkotaan yang masih kerap menaungi sebagian besar kelompok sosial yang lemah juga menjadi isu tersendiri yang merupakan irisan dari isu kependudukan, ekonomi, dan sosial. Fenomena kemiskinan ini dapat ditinjau lebih jauh berdasarkan informasi data kemiskinan pada kawasan metropolitan.

Salah satu dampak dari kemiskinan perkotaan yang muncul di kawasan metropolitan adalah adanya permukiman kumuh, disebabkan tidak tertampungnya warga pendatang dengan latar belakang pendidikan mereka yang rata-rata masih rendah dan pekerjaan yang mereka miliki umumnya berada di sektor informal. Meskipun berbagai solusi telah diciptakan
 oleh pemerintah, misalnya dengan penyediaan rusunawa/ rusunami (rumah susun sederhana sewa/ rumah susun sederhana milik), namun kemiskinan yang terjadi di metropolitan adalah sebuah permasalahan kompleks yang perlu melibatkan penanganan dari pihak-pihak yang terkait..
1.    Di Brazil, pertumbuhan perkotaan juga terkonsentrasi di sepanjang pantai Timur, membentuk sebuah aglomerasi perkotaan yang sangat besar dari Rio de Janeiro, Sao Paulo, Curitiba hingga Porto Alegre di Selatan. Upaya mengurangi disparitas regional telah lama dilakukan dengan membuat jalan-jalan raya yang masuk ke daerah pedalaman serta membangun ibukota baru Brazilia di pedalaman Amazon…. Namun proses ini kurang berhasil dan berhenti pada tahun 1980-an karena berbagai faktor yang kurang mendukung (lingkungan, ekonomi, budaya dan lain-lain)
2.    Yang kemudian dilakukan adalah mendorong kota-kota menjadi menarik dikunjungi, nyaman ditinggali (dengan sistem transportasi publik yang efisien (meskipun hanya mengandalkan “busway,” misalnya), dan membuka partisipasi warga kota sehingga terwujud kota-kota yang secara ekonomi kompetitif
3.    Namun hingga kini kota-kota Brazil pun masih tetap ditandai dengan kontras yang cukup tinggi antara permukiman kaya dan miskin
1.    Ketika China “membuka diri” di bawah Deng Xiao Ping di akhir 1970-an, dihadapi oleh kenyataan terlalu banyak penduduk di pertanian, China menerapkan kebijakan urbanisasi, tetapi melihat skala (penduduk) kota Shanghai dan Beijing sudah terlalu besar
2.    Diterapkan kebijakan secara bertahap dan konsisten dalam kurun waktu lebih dari dua dasawarsa untuk menumbuhkan kota-kota “menengah” dan SEZs yang diprioritaskan menjadi pusat pertumbuhan yang baru (sebagian dengan fungsi-fungsi khusus seperti pusat industri manufaktur, inovasi / high-tech, sektor ekonomi khusus lain)
3.    Diiringi kebijakan kependudukan yang hanya memungkinkan orang desa pindah ke kota-kota menengah, tapi tidak ke kota-kota besar (walau tidak sepenuhnya berhasil). Diiringi dengan perbaikan sarana dan prasarana bagi masyarakat untuk tinggal (termasuk ruang interaksi komunitas).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEORI LOKASI (PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA)

1.Teori Klasik Menurut Reksohadiprojo-Karseno (1985)  Teori sewa dan lokasi tanah ,   pada dasarnya merupakan bagian dari teori mikro tentang alokasi dan penentuan harga-harga faktor produksi. Seperti halnya upah yang merupakan “harga” bagi jasa tenaga kerja, maka sewa tanah adalah harga atas jasa sewa tanah. David Ricardo , berpendapat bahwa penduduk akan tumbuh sedemikian rupa sehingga tanah-tanah yang tidak subur akan digunakan dalam proses produksi, dimana sudah tidak bermanfaat lagi bagi pemenuhan kebutuhan manusia yang berada pada batas minimum kehidupan. Sehingga, “sewa tanah akan sama dengan penerimaan dikurangi harga faktor produksi bukan tanah di dalam persaingan sempurna dan akan proporsional dengan selisih kesuburan tanah tersebut atas tanah yang paling rendah tingkat kesuburannya. Berkenaan dengan kota, biasanya tingginya nilai tanah bukanlah tingkat kesuburan tanah tersebut, tetapi lebih sering dikaitkan dengan jarak atau letak tanah (Reksohadiprojo-Karseno, 1985:25).

Profil program studi Teknik Planologi (Perencanaan wilayah dan Kota)

                Sebagai seorang mahasiswa planologi saya menyadari bahwa pengetahuan masyarakat mengenai program studi / jurusan ini sangat kurang, khususnya bagi para calon – calon mahasiswa yang sedang mencari jurusan untuk melanjutkan studinya .          Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK), yang sebelumnya lebih dikenal dengan nama Teknik Planologi, merupakan salah satu program studi di UIN Alauddin Makassar, berdiri pada tahun 2006 silam. PWK adalah program studi yang berkaitan dengan berbagai bidang ilmu yang lain, baik ilmu keteknikan maupun sosial ekonomi.

makalah tentang Ruang Terbuka Hijau dalam perencanaan kota

Ruang Terbuka Hijau Dalam Perencanaan Kota Penulis : Febry Aristian Jurusan Teknik Perencanaan wilayah dan kota Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar                                                                                                                                 Abstrak Kota merupakan tempat para warga melangsungkan berbagai aktivitasnya, sehingga pengembangannya mestinya diarahkan agar dapat memenuhi tuntutan kebutuhan fisik dan spiritual. Tapi banyak ditemukan suatu kota yang perencanaannya dilakukan secara kurang memadai, sehingga menjadi lesu. Dalam makalah ini membahas tentang peran RTH dalam perencanaan kota karena RTH merupakan Sesuatu yang sangat penting dalam perencanaan kota . Dengan dibentuknya ruang-ruang terbuka hijau tersebut, dapat disusun suatu jaringan RTH-kota yang berfungsi meningkatkan kualitas lingkungan hidup perkotaan yang nyaman, segar, bersih, sehat, dan indah. Di samping memperhitungkan aspek