Langsung ke konten utama

PERTUMBUHAN KAWASAN PERMUKIMAN PENGUNGSI BELUM TERINTEGRASI KEDALAM SISTEM PERMUKIMAN KOTA BAU-BAU



Hampir semua jenis bencana baik karena alam maupun ulah manusia seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan/bencana asap dan bencana akibat kecelakaan industri serta kesalahan teknologi, telah mengancam dan berada di tengah lingkaran kehidupan segenap bangsa Indonesia. Selain itu dengan adanya kondisi sosial – ekonomi masyarakat yang semakin parah dengan munculnya dampak negatif dari krisis multi dimensi yang berawal dari krisis moneter, sampai krisis ekonomi memicu menimbulkan berbagai konflik horizontal dan vertikal yang mengakibatkan terjadinya kerusuhan sosial yang berdampak arus pengungsian warga masyarakat dengan berbagai masaiahnya.
Kerusuhan yang terjadi di Ambon pada tahun 1999 mengakibatkan arus pengungsian besar-besaran. Kota Bau-Bau (Pulau Buton) salah satu daerah yang dijadikan sebagai tempat mengungsi karena asal-usul mereka berasal dari Buton. Di daerah ini para pengungsi hanya sebagian kecil saja yang masih mengetahui keluarganya dan lebih banyak yang tidak lagi mengenal keluarganya, hanya mendengar dari orang-orang tua bahwa mereka berasal dari Buton sehingga bagi mereka sangat sulit untuk mencari hubungan keluarga yang telah lama terputus. Bagi yang tidak memiliki keluarga di Kota Bau-Bau ditampung di lokasi penampungan pengungsi yang telah disiapkan oleh pemerintah Kota Administrasi Bau-Bau pada saat itu.
Pertumbuhan penduduk di Kota Bau-Bau selain dipengaruhi oleh pendatang yang datang dari daerah sekitar kota juga karena adanya pengungsi kerusuhan Ambon pada tahun 1999. Proses masuknya pengungsi berlangsung secara bergelombang dan pananganannya pada saat itu dilakukan oleh Pemerintah Administratif Kota Bau-Bau dan Pemerintah Kabupaten Buton serta Pemerintah Pusat, dalam hal ini Departemen Sosial Republik Indonesia. Para pengungsi ini ditempatkan dibeberapa tempat penampungan sementara di Kota Bau-Bau, selain itu ada pula yang ditampung oleh keluarganya baik di Kota Bau-Bau maupun diKabupaten lain sekitar kota dan bagi yang mempunyai kemampuan keuangan membeli langsung tanah atau rumah.
Pada tahun 2000 para eksodus ini dipindahkan secara bertahap dari penampungan sementara ke lokasi pemukiman yang telah disiapkan oleh pemerintah . Pada lokasi yang baru ini tersebar di wilayah Kota Bau-Bau dan Kabupaten Buton, untuk kota Bau-Bau penempatannya antara lain di Kelurahan Kadolo Katapi lingkungan wakonti, Kelurahan Baadia lingkungan Batu Maali dan Kelurahan Bukit Wolio Indah lingkungan Lamangga
Rumah yang dibangun baik oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen Sosial di tambah dengan bantuan pemerintah daerah sebanyak 1000 unit rumah yang tersebar dalam beberapa lokasi di Kabupaten Buton dan Kota Bau-Bau dengan ukuran setiap rumah 5 x 6 meter.
Salah satu kawasan yang ditempati pengungsi sampai saat ini adalah Lingkungan Lamanaga Kelurahan Bukit Wolio Indah Kota Bau-Bau dan kami jadikan sebagai lokasi penelitian ini. Untuk lokasi pengungsian di lingkungan Lamanaga lahan yang digunakan adalah lahan milik pengungsi sendiri yang dibeli dari warga setempat dan pemerintah hanya membantu menyediakan rumah yang terbuat dari papan tetapi tidak ikuti dengan penyiapan sarana dan prasarana lingkungan.
Jumlah rumah yang dibangun sebanyak 100 unit dan sampai saat ini telah berkembang dan mulai tidak tertata dengan baik dan tekesan kumuh. Lokasi ini berada di daerah perbukitan yang berdampingan dengan permukiman warga setempat. Pada kawasan ini telah terjadi perubahan fisik dari rumah itu sendiri seiring dengan perkembangan kota .
Penempatan pengungsi di daerah ini tidak diikuti dengan penyediaan sarana dan prasarana lingkungan seperti sarana saluran drainase, saluran limbah, fasilitas air bersih dan jalan lingkungan yang memadai, akibatnya dilokasi tersebut setiap tahunnya terjadi genangan air pada beberapa tempat.
Sampai saat ini penataan sarana prasarana lingkungan masih sangat kurang diperhatikan, seperti sarana jalan, saluran drainase, saluran air limbah dan fasilitas persampahan yang memadai sehingga tidak terjadi kesatuan hubungan dengan prasarana lingkungan dipermukiman kota , maka perlu diadakan suatu penataan agar permukiman pengungsi merupakan satu kesatuan yang terintegrasi dengan permukiman kota . Oleh karena itu perlu diadakan studi tentang bagaimana model integrasi permukiman pengungsi kedalam sistem permukiman kota.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

makalah tentang Ruang Terbuka Hijau dalam perencanaan kota

Ruang Terbuka Hijau Dalam Perencanaan Kota Penulis : Febry Aristian Jurusan Teknik Perencanaan wilayah dan kota Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar                                                                                                                                 Abstrak Kota merupakan tempat para warga melangsungkan berbagai aktivitasnya, sehingga pengembangannya mestinya diarahkan agar dapat memenuhi tuntutan kebutuhan fisik dan spiritual. Tapi banyak ditemukan suatu kota yang perencanaannya dilakukan secara kurang memadai, sehingga menjadi lesu. Dalam makalah ini membahas tentang peran RTH dalam perenca...

PERBEDAAN DESA DENGAN KELURAHAN

A.     KELURAHAN 1.       Pengertian Kelurahan Kelurahan merupakan wilayah gabungan dari beberapa Rukun Warga (RW). Pemerintahan di tingkat desa dan kelurahan merupakan unsur pemerintahan yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Dalam menjalankan semua perencanaan pembangunan di kelurahan terdapat Dewan Kelurahan (Dekel). Dewan Kelurahan berfungsi sebagai pemberi masukan kepada lurah tentang rencana pembangunan di wilayahnya. Kelurahan   adalah pembagian wilayah administratif di   Indonesia   di bawah   kecamatan . Dalam konteks otonomi daerah di Indonesia, Kelurahan merupakan wilayah kerja   Lurah   sebagai Perangkat Daerah Kabupaten atau kota. Kelurahan dipimpin oleh seorang Lurah yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil. Kelurahan merupakan unit pemerintahan terkecil setingkat dengan   desa . Berbeda dengan desa, kelurahan memiliki hak mengatur wilayahnya lebih terbatas. Dalam perkembangan...

PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR SECARA TERPADU DAN BERKELANJUTAN YANG BERBASIS MASYARAKAT

lukita purnamasari PENDAHULUAN Indonesia merupakan Negara Kepulauan dengan jumlah pulau yang mencapai 17.508 dan panjang garis pantai kurang lebih 81.000 Km (DKP, 2008). Keadaan ini menyebabkan kawasan pesisir menjadi andalan sumber pendapatan masyarakat Indonesia. Secara umum, wilayah pesisir dapat didefenisikan sebagai wilayah pertemuan antara ekosistem darat, ekosistem laut dan ekosistem udara yang saling bertemu dalam suatu keseimbangan yang rentan (Beatly et al, 2002). Menurut Kay dan Alder pesisir adalah wilayah yang unik, karena dalam konteks bentang alam, wilayah pesisir merupakan tempat bertemunya daratan dan lautan. Lebih jauh lagi, wilayah pesisir merupakan wilayah yang penting ditinjau dari berbagai sudut pandang perencanaan dan pengelolaan. Departemen Kelauatan dan Perikanan dalam rancangan Undang-undang Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu mendefenisikan wilayah pesisir sebagai kawasan peralihan yang menghubungkan ekosistem darat dan ekosistem laut yang terl...