Sulawesi Tenggara kebanjiran investor nikel. Semuanya terkesan pengusaha kelas teri. Pasalnya, areal konsesi yang diminta kecil-kecil, dari 200 sampai 500 hektar. Bayangkan konsesi PT Inco (Kanada) di provinsi ini 63.000 hektar, PT Aneka Tambang Tbk (BUMN) 8.200 hektar, belum termasuk Pulau Bahubulu 17.000 hektar yang masih tahap eksplorasi.
Namun, para pejabat setempat (baca: bupati dan kepala dinas pertambangan) menyambut para investor ini dengan segenap keramahtamahan. Mereka dianggap orang penting yang harus dijunjung tinggi. Maklum, para investor tampak sangat dermawan, bagai Santa Klaus di mata para pejabat tersebut.
Negosiasi untuk mendapatkan konsesi lahan nikel atau kuasa pertambangan (KP) dikondisikan agar dilakukan di Jakarta. Di kota inilah, seperti dituturkan Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Sultra Ir Muhammad Hakku Wahab dalam perjalanan bersama Gubernur Nur Alam dan Kompas di Kabaena (Kamis, 20 Maret 2008), para investor atau kacungnya menghambur umpan, mulai dari mobil mewah untuk dipakai selama ”dinas” di Jakarta, hotel mewah, wanita cantik, dan tentu saja uang.
Dalam suasana pertemanan ekstra akrab itu, KP nikel akhirnya lebih mudah diperoleh ketimbang membalikkan tangan. Tak heran jika lokasi KP di Sultra saat ini begitu menjamur di hampir semua 10 kabupaten dan dua kota.
Kabupaten Konawe Utara lebih mencolok. Di kabupaten baru itu terdapat lebih dari 100 KP. ”Lebih luas izin KP yang diterbitkan dari keseluruhan luas kabupaten itu sendiri,” kata Kepala Subdinas Pertambangan Umum Dinas Pertambangan dan Energi Sultra Burhanuddin.
Buah otonomi
Penerbitan KP yang tak terkendali merupakan buah dari otonomi yang diberlakukan di kabupaten/kota. Dengan kewenangan yang luas, para kepala daerah bisa menjual potensi apa saja yang dimiliki daerahnya kendati dengan harga murah. Yang penting kegiatan itu menguntungkan pribadi, kelompok, dan bisa meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).
Gejala penyalahgunaan kewenangan sehingga lokasi KP nikel begitu menjamur dan tumpang tindih menarik perhatian Gubernur Nur Alam. ”Kami sedang kaji kemungkinan penertiban KP. Kalau perlu kami cabut izin-izin yang tak layak,” katanya.
Nur Alam yang menjabat Gubernur Sultra 18 Februari 2008 menyatakan sangat mendukung kegiatan investasi pertambangan nikel di daerahnya. Syaratnya ialah investor harus membangun pabrik pengolahan, bukan sekadar menggali lalu mengekspor tanah yang mengandung nikel.
Pembangunan industri akan lebih banyak menyerap tenaga kerja dan menciptakan pusat pertumbuhan baru di pedesaan penghasil nikel. Nur Alam juga menghendaki agar pihak investor melakukan reinvestasi di Sultra dari keuntungan yang diraup.
Bila pembangunan industri dan reinvestasi tidak dilakukan investor, Sultra bakal mengalami malapetaka besar. ”Setelah investor pergi meninggalkan lahan rusak, tinggallah rakyat yang sengsara karena lahannya tak layak lagi ditanami,” katanya.
Apa yang dikhawatirkan Gubernur Alam mulai muncul dan terasa di Kabaena, pulau berpenduduk 23.639 jiwa di Kabupaten Bombana. Tidak tanggung-tanggung, pulau seluas 867,69 kilometer persegi itu telah dikapling menjadi 16 blok KP nikel.
Dua di antara pemilik KP itu, PT Billy Indonesia dan PT Argomorini, telah beroperasi mengeruk tanah pulau beralam pegunungan itu, lalu diangkut ke China. Warga setempat pun dibayang-bayangi penderitaan batin maupun fisik.
Kesulitan
Warga Desa Dongkala di lokasi KP PT Billy, misalnya, kesulitan air minum selama tiga bulan pertama perusahaan itu beroperasi menggerus tanah nikel. Soalnya, lokasi penambangan terletak di kawasan hulu sumber air desa itu.
”Kami juga hanya menjadi penonton kegiatan menyendok lahan di desa kami,” tutur Habaruddin (42) di depan Gubernur Alam yang bertatap muka dengan warga sekitar penambangan nikel di Dongkala, Kabaena Timur, 20 Maret lalu.
Warga pesisir lebih terpukul sejak muncul kegiatan penambangan nikel bulan Desember 2007. Lokasi budidaya rumput laut dan kepiting milik mereka tertutup lumpur nikel.
Arifuddin (35), anggota kelompok pengelola budidaya rumput laut, tak mampu berkata-kata saat ditanya perihal usaha budidaya yang menjadi tumpuan harapan untuk menghidupi istri dan ketiga anaknya. Ia hanya memandang air laut berlumpur coklat kemerahan dengan tatapan kosong.
Usaha pertambangan di mana pun selalu menyisakan masalah sosial dan lingkungan setelah kontrak berakhir dan investor pergi.
Untuk menanggulangi kerusakan lingkungan, misalnya, sesuai keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral 3 November 2000, investor diwajibkan menempatkan dana jaminan reklamasi pada bank pemerintah. Bila investor pergi dan tidak melakukan rehabilitasi terhadap lahan rusak bekas galian, pemerintah menggunakan dana itu bagi pelaksanaan rehabilitasi.
Apakah ketentuan itu dipatuhi, Manajer Produksi PT Billy Slamet Mudjiono enggan berkomentar. Ia mengaku telah membangun cekdam untuk menahan erosi lumpur nikel.
(Tulisan ini disalin bulat-bulat oleh Kabaena.com untuk menghormati hak cipta penulis aslinya: YAMIN INDAS, www.kompas.com)
Namun, para pejabat setempat (baca: bupati dan kepala dinas pertambangan) menyambut para investor ini dengan segenap keramahtamahan. Mereka dianggap orang penting yang harus dijunjung tinggi. Maklum, para investor tampak sangat dermawan, bagai Santa Klaus di mata para pejabat tersebut.
Negosiasi untuk mendapatkan konsesi lahan nikel atau kuasa pertambangan (KP) dikondisikan agar dilakukan di Jakarta. Di kota inilah, seperti dituturkan Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Sultra Ir Muhammad Hakku Wahab dalam perjalanan bersama Gubernur Nur Alam dan Kompas di Kabaena (Kamis, 20 Maret 2008), para investor atau kacungnya menghambur umpan, mulai dari mobil mewah untuk dipakai selama ”dinas” di Jakarta, hotel mewah, wanita cantik, dan tentu saja uang.
Dalam suasana pertemanan ekstra akrab itu, KP nikel akhirnya lebih mudah diperoleh ketimbang membalikkan tangan. Tak heran jika lokasi KP di Sultra saat ini begitu menjamur di hampir semua 10 kabupaten dan dua kota.
Kabupaten Konawe Utara lebih mencolok. Di kabupaten baru itu terdapat lebih dari 100 KP. ”Lebih luas izin KP yang diterbitkan dari keseluruhan luas kabupaten itu sendiri,” kata Kepala Subdinas Pertambangan Umum Dinas Pertambangan dan Energi Sultra Burhanuddin.
Buah otonomi
Penerbitan KP yang tak terkendali merupakan buah dari otonomi yang diberlakukan di kabupaten/kota. Dengan kewenangan yang luas, para kepala daerah bisa menjual potensi apa saja yang dimiliki daerahnya kendati dengan harga murah. Yang penting kegiatan itu menguntungkan pribadi, kelompok, dan bisa meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).
Gejala penyalahgunaan kewenangan sehingga lokasi KP nikel begitu menjamur dan tumpang tindih menarik perhatian Gubernur Nur Alam. ”Kami sedang kaji kemungkinan penertiban KP. Kalau perlu kami cabut izin-izin yang tak layak,” katanya.
Nur Alam yang menjabat Gubernur Sultra 18 Februari 2008 menyatakan sangat mendukung kegiatan investasi pertambangan nikel di daerahnya. Syaratnya ialah investor harus membangun pabrik pengolahan, bukan sekadar menggali lalu mengekspor tanah yang mengandung nikel.
Pembangunan industri akan lebih banyak menyerap tenaga kerja dan menciptakan pusat pertumbuhan baru di pedesaan penghasil nikel. Nur Alam juga menghendaki agar pihak investor melakukan reinvestasi di Sultra dari keuntungan yang diraup.
Bila pembangunan industri dan reinvestasi tidak dilakukan investor, Sultra bakal mengalami malapetaka besar. ”Setelah investor pergi meninggalkan lahan rusak, tinggallah rakyat yang sengsara karena lahannya tak layak lagi ditanami,” katanya.
Apa yang dikhawatirkan Gubernur Alam mulai muncul dan terasa di Kabaena, pulau berpenduduk 23.639 jiwa di Kabupaten Bombana. Tidak tanggung-tanggung, pulau seluas 867,69 kilometer persegi itu telah dikapling menjadi 16 blok KP nikel.
Dua di antara pemilik KP itu, PT Billy Indonesia dan PT Argomorini, telah beroperasi mengeruk tanah pulau beralam pegunungan itu, lalu diangkut ke China. Warga setempat pun dibayang-bayangi penderitaan batin maupun fisik.
Kesulitan
Warga Desa Dongkala di lokasi KP PT Billy, misalnya, kesulitan air minum selama tiga bulan pertama perusahaan itu beroperasi menggerus tanah nikel. Soalnya, lokasi penambangan terletak di kawasan hulu sumber air desa itu.
”Kami juga hanya menjadi penonton kegiatan menyendok lahan di desa kami,” tutur Habaruddin (42) di depan Gubernur Alam yang bertatap muka dengan warga sekitar penambangan nikel di Dongkala, Kabaena Timur, 20 Maret lalu.
Warga pesisir lebih terpukul sejak muncul kegiatan penambangan nikel bulan Desember 2007. Lokasi budidaya rumput laut dan kepiting milik mereka tertutup lumpur nikel.
Arifuddin (35), anggota kelompok pengelola budidaya rumput laut, tak mampu berkata-kata saat ditanya perihal usaha budidaya yang menjadi tumpuan harapan untuk menghidupi istri dan ketiga anaknya. Ia hanya memandang air laut berlumpur coklat kemerahan dengan tatapan kosong.
Usaha pertambangan di mana pun selalu menyisakan masalah sosial dan lingkungan setelah kontrak berakhir dan investor pergi.
Untuk menanggulangi kerusakan lingkungan, misalnya, sesuai keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral 3 November 2000, investor diwajibkan menempatkan dana jaminan reklamasi pada bank pemerintah. Bila investor pergi dan tidak melakukan rehabilitasi terhadap lahan rusak bekas galian, pemerintah menggunakan dana itu bagi pelaksanaan rehabilitasi.
Apakah ketentuan itu dipatuhi, Manajer Produksi PT Billy Slamet Mudjiono enggan berkomentar. Ia mengaku telah membangun cekdam untuk menahan erosi lumpur nikel.
(Tulisan ini disalin bulat-bulat oleh Kabaena.com untuk menghormati hak cipta penulis aslinya: YAMIN INDAS, www.kompas.com)
Komentar